Sistem jaringan kabel listrik bawah laut pada dasarnya merupakan teknologi yang memungkinkan
penyatuan atau pengintegrasian sistem kelistrikan di suatu negara. Umumnya,
sistem transimisi yang digunakan disebut dengan high voltage direct current
(HVDC). HVDC atau arus tinggi yang berjenis searah tersebut, dapat membawa daya
listrik yang besar dengan instrumen kawat tembaga berlilit sebagai penghantar
tegangan, dan kulit pita baja sebagai pelindung kawat yang diletakkan di bawah
laut, sebelum memasang kabel bawah laut harus terlebih dulu dipahami mengenai
karakteristik permukaan dasar laut, kedalaman laut, pergerakan arus, arus
pasang surut laut, serta perkiraan pergeseran pasir dasar laut. Yang jelas,
melalui pemasangan kabel bawah laut tersebut, distribusi dan pemenuhan
kebutuhan listrik di suatu daerah tidak perlu lagi dilakukan dengan membangun
pembangkit di daerah tersebut. Apalagi jika kondisi sumber daya energi setempat
tidak memungkinkan. Cukup dengan mengirim pasokan listrik melalui kabel bawah
laut, maka PLN dapat memenuhi kebutuhan listrik ke suatu daerah dari
sumber utama pembangkit listrik besar yang berada di daerah lain.
Sebenarnya
jaringan kabel listrik bawah laut telah dikembangkan sejak tahun 1856, kabel
bawah laut telah marak digunakan di benua Amerika, Eropa, Australia, bahkan
juga Asia. Pada 1857, ada sebuah kabel bawah laut yang direntang di laut
Atlantik sepanjang 2.967 kilometer. Hingga awal abad ke-20, tercatat ada
sekitar 200 ribu mil kabel bawah laut di dunia. Sebagai teknologi modern, kabel
bawah laut yang sebelumnya banyak dipakai untuk pengembangan telegrafi, serta
komunikasi data dan internet. Kini kabel bawah laut mulai dikembangankan untuk
pengembangan sistem kelistrikan. Beberapa negara menggunakan kabel bawah laut
untuk melakukan ekspor daya listrik lintas negara. Salah satu negara yang
memanfaatkan teknologi kabel bawah laut adalah Rusia. Ketika terjadi gempa
berbuntut tsunami di Jepang pada 11 Maret 201, Rusia mengirim pasokan daya
listrik ke Jepang melalui kabel bawah laut. Jepang yang ketika itu terancam
pemadaman listrik akibat gempa, menerima bantuan pasokan daya listrik sebesar 6
ribu megawatt (MW) dari Rusia. Ekspor daya listrik sebesar itu dipasok melalui
sambungan kabel bawah laut yang menghubungkan kedua negara tersebut.
Pemanfaatan
jaringan kabel listrik bawah laut sebagai jaringan interkoneksi kelistrikan
dengan tujuan memasok energi listrik, pada dasarnya sudah cukup lama dilirik
oleh negara-negara maju. Pada pertengahan 2009, dua belas perusahaan asal Eropa
di antaranya ABB dan Siemens, RWE dan EON, serta Lembaga Keuangan Deutsche Bank
dan Munich Re, bergabung dalam sebuah konsorsium kelistrikan. Konsorsium tersebut
melakukan pendanaan senilai 560 miliar dolar Amerika dan berencana menyuplai
listrik ke Eropa dengan kabel bawah laut. Pendanaan tersebut adalah untuk
pembangunan pembangkit listrik tenaga surya mulai dari Maroko hingga Arab Saudi
untuk kemudian menyuplai listrik ke Eropa melalui kabel bawah laut. Konsorsium
itu akan memberikan pasokan listrik sesuai porsi masing-masing negara produsen.
Diperkirakan, listrik tenaga surya tersebut dapat memenuhi sekitar 15 persen
pasokan listrik untuk negara-negara di seluruh Eropa. Pihak
konsorsium tersebut menyatakan, proyek tenaga surya tersebut ditargetkan
mampu menghasilkan tenaga listrik sebesar 100 giga watts (GW) atau setara
dengan 100 pembangkit tenaga listrik konvensional lainnya. Pembentukan
konsorsium tersebut merupakan sebuah terobosan besar dari perusahaan-perusahaan
energi global. “Untuk mengumpulkan sinar matahari kini tidak perlu lagi pergi
ke Afrika Utara,”. Kerjasama yang
dilakukan tersebut, pada akhirnya membuka peluang desentralisasi energi dari
berbagai sumber melalui perusahaan-perusahaan besar di sektor energi. Kendati
demikian, sempat muncul kecurigaan bahwa nantinya proyek tersebut bisa dikuasai
oleh pihak Eropa. Kendati sejumlah pro dan kontra muncul dalam proyek
tersebut, tetapi yang jelas, kabel bawah laut terbukti merupakan teknologi yang
dapat bermanfaat untuk mengirimkan pasokan listrik antar negara bahkan lintas
benua.
Contoh pemanfaatan
jaringan kabel listrik bawah laut yang sudah berkembang, pemanfaatannya
barangkali bisa dilihat di Kanada. Selama puluhan tahun, Quebec-provinsi terbesar
secara geografis dengan populasi penduduk nomor dua terbesar di Kanada-dan
Labrador-provinsi kecil di Timur Laut Kanada, telah mengekspor listrik tenaga
air ke pasar di Timur Laut Amerika Serikat melalui kabel bawah laut. Bahkan,
California secara berkala juga mengimpor pembangkit listrik tenaga air dari
British Columbia (B.C.)provinsi paling barat di Kanada. Sebuah perusahaan
transmisi yang berbasis di Vancouver juga telah mengusulkan untuk memasang
kabel bawah laut di sepanjang pantai Pasifik Amerika. Tujuannya adalah untuk
memasok tenaga listrik dari B.C ke California. Demikian juga di kota terbesar
Kanada, Toronto yang merupakan ibukota Provinsi Ontario. Sebuah perusahaan
pengembangan transmisi di Toronto, berencana memasang kabel listrik bawah laut
di bawah perairan yang menghubungkan Montreal dan New York City. Tujuannya pun
sama, yakni untuk memasok kebutuhan listrik melalui listrik tenaga air ke
perkotaan melalui bendungan di Teluk James.
Di
provinsi lain Kanada, Newfoundland di Kanada Timur, juga mengumumkan rencana
keterlibatan mereka untuk memasok listrik tenaga air dari Labrador ke pasar
Timur Laut Amerika melalui kabel listrik bawah laut yang dipasang di bawah dua
selat sepanjang pantai Atlantik Kanada. Tak mau ketinggalan, provinsi Manitoba di
Kanada, juga mengembangkan kapasitas pembangkit listrik tenaga air di
sepanjang Sungai Nelson dan Churchill, dan mereka menunjukkan minatnya untuk
mengekspor listrik ke beberapa pasar Midwestern Amerika untuk beberapa waktu ke
depan, juga melalui kabel bawah laut. Pada
dasarnya, pengiriman daya listrik tersebut dimungkinkan melalui kabel listrik
bawah laut yang dipasang di dasar sungai utara, Danau Winnipeg dan Sungai
Merah. Upaya untuk memperpanjang kabel tersebut sangat potensial dilakukan
melalui dasar anak sungai dan dapat memperpendek jarak lintas antarpulau hingga
mencapai seluruh pelosok hulu Sungai Mississippi.
Kabel
listrik bawah laut yang telah terpasang di dasar sungai Mississippi tersebut,
memungkinkan untuk menghubungkan beberapa kabel sejenis yang dapat mengirim
listrik ke kota-kota seperti Minneapolis-St Paul, Chicago, St Louis dan Kansas
City. Namun demikian, tenaga air di Manitoba yang berkapasitas sekitar 10.000
MW, hanya memungkinkan memasok 40% kebutuhan daya listrik ke Midwest, Amerika
Serikat yang kebutuhannya pada 2030 mendatang diperkirakan dapat meningkat
hingga sebesar 25.000 MW. Jika melihat perkembangan teknologi kabel bawah laut
di Negara-negara Eropa dan Amerika, terbukti kabel bawah laut sangat berperan
dalam memasok kebutuhan listrik antar pulau, antar negara, bahkan sampai lintas
benua. Tak heran kalau kemudian di Indonesia sendiri PLN berencana mengembangkan kabel bawah laut
di berbagai pulau. Baik di wilayah Kepulauan Seribu, Riau dan Riau Kepulauan,
Jawa-Bali, dan beberapa daerah lainnya. Melalui kabel bawah laut, distribusi jaringanlistrik ke berbagai daerah diperkirakan bisa menghemat anggaran negara hingga
mencapai Rp30 miliar per tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar